”Sejak diberlakukannya UU no 32 tahun 1999 yang kemudian disusul dengan UU no 32 tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah yang secara subtansial memberikan otonomi kepada daerah provinsi dan kabupaten serta pemerintahan kota suatu kewenangan serta otonomi yang lebih luas dibandingkan dengan era sebelumnya. Sesuai pasal 1 ayat 2 UU no 32 tahun 1999, yang dimaksud Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dan sesuai pasal 1 ayat 5 yang dimaksud Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Ada
beberapa hal yang menandai adanya otonomi daerah di Indonesia,
misalnya: diserahkannya berbagai urusan kepada daerah, pemilihan kepala
daerah secara langsung, semakin banyak muncul daerah baru hasil dari
pemekaran daerah, dan lahirnya beberapa partai local. Memang tidak
disangkal lagi, bahwa otonomi daerah membawa perubahan positif di daerah
dalam hal kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangga
daerah sendiri. Kewenangan ini menjadi sebuah impian karena sistem
pemerintahan yang sentralistik cenderung menempatkan daerah sebagai
pelaku pembangunan yang tidak begitu penting atau terpinggirkan. Pada
masa orde baru, pengerukan potensi daerah ke pusat terus dilakukan
dengan dalih pemerataan pembangunan. Alih-alih mendapatkan manfaat dari
pembangunan, daerah justru mengalami proses pemiskinan yang luar biasa.
Dengan kewenangan tersebut tampaknya banyak daerah yang optimis akan
bisa mengubah keadaan yang tidak menguntungkan tersebut.
Akan
tetapi apakah di tengah-tengah optimisme itu tidak terbersit
kekhawatiran bahwa otonomi daerah juga akan menimbulkan beberapa
persoalan, yang jika tidak segera dicari pemecahannya, akan menyulitkan
upaya daerah untuk mensejahterakan rakyatnya? Pasti jawabannya iya, Mengapa?
Karena, tanpa disadari beberapa dampak yang tidak menguntungkan bagi
pelaksanaan otonomi daerah telah terjadi. Ada beberapa permasalahan yang
dikhawatirkan bila dibiarkan berkepanjangan akan berdampak sangat buruk
pada susunan ketatanegaraan Indonesia.
Setelah sekian lama otonomi berlangsung yang antara lain ditandai dengan adanya diserahkanya berbagai urusan kepada daerah dan pemilihan kepala daerah secara langsung ada beberapa
permasalahan yang muncul, yaitu semakin maraknya penyebaran korupsi
diberbagai daerah, money politics, munculnya fenomena pragmatism politik
di masyarakat daerah, legitimasi politik dan stabilitas politik belum
sepenuhnya tercapai, adanya konflik horizontal dan konflik vertical, dan
kesejahteraan masyarakat ditingkat local belum sepenuhnya diwujudkan.
Nampak
adanya beberapa pertimbangan yang rumit dibalik pemberian otonomi pada
masyarakat Indonesia. Berbagai pertimbangan yang kompleks telah membawa
pelaksanaan otonomi daerah belum pernah berjalan tuntas. Gejala tersebut
dapat disebut dengan otonomi daerah setengah hati. Hal tersebut dapat
dicermati dengan seringnya berganti aturan UU yang menjadi dasar dalam
pelaksanaan pemerintahan daerah, ada lebih dari 15 UU yang pernah dibuat untuk mengatur masalah otonomi daerah.
Ada beberapa daerah yang merasa diberlakukan kurang adil oleh pemerintah pusat dan tidak pernah merasakan kemakmuran yang
akhirnya menimbulkan dinamika dan gejolak politik misalnya munculnya
Gerakan Aceh Merdeka, Republik Maluku Selatan, dan Organisasi Papua
Merdeka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar