- Suatu ketika, ada teman
saya yang mengeluhkan dalam status Facebooknya, “Zaman sekarang, susah cari perempuan yang mau diajak susah.”
Ego saya sontak
berontak, saya menjawab dalam hati, “Masa sih? Saya enggak kok. Saya mau aja
diajak hidup susah.”
Namun jari jemari ini
tertahan untuk membalas status tersebut. Saya hanya menyimak, hingga muncul
sebuah komentar dari temannya yang menarik perhatian saya.
“Memang, definisi dari ’susah’ itu apa?”
Ya. Kalimat tersebut
membuat saya menata ulang opini saya.
Sebagian dari kita,
termasuk saya ketika itu, mengartikan ‘hidup susah’ di sini sebagai hidup tanpa
gelimangan harta. Karena mainstream media saat ini juga memang menggiring opini kita ke sana.
Padahal bukan begitu Islam mengajarkan kita.
Lantas, apa yang
dimaksud ‘hidup susah’? Masing-masing kita mempunyai pendapat yang bisa jadi
berbeda. Tapi izinkan saya coba membagi pendapat saya –well, ini bukan murni pendapat saya juga sih. Saya
hanya menyimpulkan dari beberapa literatur yang saya baca, namun semoga ada
manfaatnya.
Saya mempercayai bahwa
tiap episode dalam kehidupan kita adalah ujian untuk menguji kadar keimanan
kita. Kaya ataupun miskinnya. Lapang ataupun sempitnya. Banyak ataupun
sedikitnya.
Saya kurang sepakat,
apabila kita memandang secara sebelah mata: Jika ia kaya, maka ia senang | Jika
ia miskin, ia hidup susah. Ini bukan parameternya. Saya rasa tidak perlu banyak
pembahasan di sini. Tentunya kita sudah sering mendengar dan melihat (atau
bahkan mengalami), banyak orang kaya yang tidak bisa bersenang-senang menikmati
hartanya. Ia mempunyai banyak uang, tapi sedikit kebahagiaan. Juga tidak
sedikit orang yang kasat mata terlihat miskin karena harta, tapi kaya
kebahagiaannya. Sekali lagi, ini bukan parameternya.
Rasulullah SAW sebagai
panutan kita pernah mengalami kedua fase tersebut. Allah pernah menitipkan
padanya harta yang melimpah ruah, dan pernah juga Allah menakdirkan bahkan
tidak ada asap mengebul dari dapur rumah beliau saw. Saya rasa, bukan hal yang
mustahil bagi para perempuan untuk meneladaninya: hidup penuh kesyukuran dengan
harta, atau hidup penuh kesabaran tanpanya.
Saya mengartikan hidup
susah di sini, dengan tiada barakah dalam kehidupannya. Karena menurut Ustadz
Salim A. Fillah dalam bukunya “Baarakallaahulaka, Bahagianya Merayakan Cinta”,
Bahwa di saat apapun barakah itu membawa kebahagiaan. Sebuah letup
kegembiraan di hati, kelapangan di dada, kejernihan di akal, dan rasa nikmat di
jasad. Barakah itu memberi suasana lain dan mencurahkan keceriaan musim semi,
apapun masalah yang sedang membadai rumah tangga kita. Barakah itu membawakan
senyum meski air mata menitik-nitik. Barakah itu menyergapkan rindu di tengah
kejengkelan. Barakah itu menyediakan rengkuhan dan belaian lembut di saat dada
kita sesak oleh masalah.
Dan apa itu barakah?
Masih dalam buku yang sama, beliau menjelaskan bahwa “Secara sederhana, barakah
adalah bertambahnya kebaikan dalam setiap kejadian yang kita alami waktu demi
waktu.”
Saya membayangkan sebuah
kehidupan, yang terkandung barakah di dalamnya seperti yang dijelaskan Ustadz
Salim tadi. Maka saya tidak dapat menemukan, di mana letak saya akan merasa
‘hidup susah’ nantinya.
Ketika bisa jadi kami
nanti hanya tinggal di rumah petak, tapi justru karena itulah saya bisa
menemukan bayang rekan hidup saya setiap saat, ke manapun saya menoleh. Atau
boleh jadi mungkin kami tinggal di rumah megah nan luas yang bisa turut
menampung ratusan tuna wisma di dalamnya.
Ketika bisa jadi kami
memiliki mobil pribadi dan bisa mengantarkan sanak saudara ke manapun mereka
ingin pergi. Atau boleh jadi kami harus berjalan kaki, namun itu adalah
kesempatan baik untuk menyusuri jalan sambil menikmati senja, atau mendengarkan
celoteh burung di pagi hari.
Ketika bisa jadi kami
mampu menghidangkan ribuan porsi makanan lezat untuk dinikmati bersama fakir
miskin. Atau boleh jadi kami hanya mampu membeli seporsi nasi, untuk dimakan
berdua sambil saling suap mesra.
Ketika bisa jadi rekan
saya nanti diamanahi pekerjaan yang menyita waktunya untuk kepentingan orang
banyak, dan saya memiliki waktu lebih banyak untuk menyiapkan dengan maksimal
kebutuhannya beristirahat dengan optimal di rumah. Atau boleh jadi ia hanya
bekerja seadanya, dan kami memiliki lebih banyak waktu untuk dilalui bersama.
Dan masih banyak lagi.
Namun intinya, dengan barakah, saya tidak menemukan di mana celah ada kehidupan
yang bisa diartikan susah.
Dan ketika saya
membayangkan sebuah kehidupan tanpa barakah di dalamnya, di sanalah saya
menemukan arti ‘hidup susah’ yang sebenarnya.
Saya akan merasa hidup
susah ketika kesempitan rumah masih ditambah dengan kesempitan hati dan
keleluasaan lisan untuk terus mengeluh. Atau kelapangan rumah yang justru
membuat jarak hati penghuninya juga semakin jauh.
Saya merasa susah ketika
memiliki mobil pribadi yang bagus dan mewah justru membuat hati tidak karuan
karena takut tergores dan kehilangan. Atau tidak memiliki kendaraan menjadi
pembenaran atau alasan untuk berhenti dari melakukan sebuah kebaikan.
Saya merasa susah ketika
kesanggupan menghadirkan makanan berbanding lurus dengan kemubadziran yang kami
hasilkan. Atau ketika hanya memiliki sedikit makanan membuat kami lupa dengan
pemberian Allah yang masih banyak dalam bentuk lainnya.
Saya merasa susah ketika
jam kerja yang panjang justru membuat hati saya khawatir dan curiga tentang apa
yang sebenarnya rekan saya lakukan. Atau ketika ia lama berada di rumah, justru
membuat pertikaian yang terjadi di antara kami semakin banyak.
Masih banyak lagi. Namun
intinya, saya merasa susah, ketika Allah tak lagi menghadirkan barakah dalam
kehidupan kami.
Sepanjang Allah
menganugerahkan barakah dalam hidup kita, atau setidaknya kita selalu berusaha
untuk menghadirkannya, sepanjang itu pula saya berjanji untuk tidak akan merasa
susah.
Namun ketika Allah
mencabut barakah itu dari hidup kita, dan tidak ada lagi upaya dari kita untuk
memintanya kembali, saya akan merasa susah.
Dan maaf, saya tidak mau diajak hidup susah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar