Minggu, 04 Januari 2015

Susah

- Suatu ketika, ada teman saya yang mengeluhkan dalam status Facebooknya, “Zaman sekarang, susah cari perempuan yang mau diajak susah.”
Ego saya sontak berontak, saya menjawab dalam hati, “Masa sih? Saya enggak kok. Saya mau aja diajak hidup susah.”
Namun jari jemari ini tertahan untuk membalas status tersebut. Saya hanya menyimak, hingga muncul sebuah komentar dari temannya yang menarik perhatian saya.
“Memang, definisi dari ’susah’ itu apa?”
Ya. Kalimat tersebut membuat saya menata ulang opini saya.
Sebagian dari kita, termasuk saya ketika itu, mengartikan ‘hidup susah’ di sini sebagai hidup tanpa gelimangan harta. Karena mainstream media saat ini juga memang menggiring opini kita ke sana. Padahal bukan begitu Islam mengajarkan kita.
Lantas, apa yang dimaksud ‘hidup susah’? Masing-masing kita mempunyai pendapat yang bisa jadi berbeda. Tapi izinkan saya coba membagi pendapat saya –well, ini bukan murni pendapat saya juga sih. Saya hanya menyimpulkan dari beberapa literatur yang saya baca, namun semoga ada manfaatnya.
Saya mempercayai bahwa tiap episode dalam kehidupan kita adalah ujian untuk menguji kadar keimanan kita. Kaya ataupun miskinnya. Lapang ataupun sempitnya. Banyak ataupun sedikitnya.
Saya kurang sepakat, apabila kita memandang secara sebelah mata: Jika ia kaya, maka ia senang | Jika ia miskin, ia hidup susah. Ini bukan parameternya. Saya rasa tidak perlu banyak pembahasan di sini. Tentunya kita sudah sering mendengar dan melihat (atau bahkan mengalami), banyak orang kaya yang tidak bisa bersenang-senang menikmati hartanya. Ia mempunyai banyak uang, tapi sedikit kebahagiaan. Juga tidak sedikit orang yang kasat mata terlihat miskin karena harta, tapi kaya kebahagiaannya. Sekali lagi, ini bukan parameternya.
Rasulullah SAW sebagai panutan kita pernah mengalami kedua fase tersebut. Allah pernah menitipkan padanya harta yang melimpah ruah, dan pernah juga Allah menakdirkan bahkan tidak ada asap mengebul dari dapur rumah beliau saw. Saya rasa, bukan hal yang mustahil bagi para perempuan untuk meneladaninya: hidup penuh kesyukuran dengan harta, atau hidup penuh kesabaran tanpanya.
Saya mengartikan hidup susah di sini, dengan tiada barakah dalam kehidupannya. Karena menurut Ustadz Salim A. Fillah dalam bukunya “Baarakallaahulaka, Bahagianya Merayakan Cinta”,
Bahwa di saat apapun barakah itu membawa kebahagiaan. Sebuah letup kegembiraan di hati, kelapangan di dada, kejernihan di akal, dan rasa nikmat di jasad. Barakah itu memberi suasana lain dan mencurahkan keceriaan musim semi, apapun masalah yang sedang membadai rumah tangga kita. Barakah itu membawakan senyum meski air mata menitik-nitik. Barakah itu menyergapkan rindu di tengah kejengkelan. Barakah itu menyediakan rengkuhan dan belaian lembut di saat dada kita sesak oleh masalah.
Dan apa itu barakah? Masih dalam buku yang sama, beliau menjelaskan bahwa “Secara sederhana, barakah adalah bertambahnya kebaikan dalam setiap kejadian yang kita alami waktu demi waktu.”
Saya membayangkan sebuah kehidupan, yang terkandung barakah di dalamnya seperti yang dijelaskan Ustadz Salim tadi. Maka saya tidak dapat menemukan, di mana letak saya akan merasa ‘hidup susah’ nantinya.
Ketika bisa jadi kami nanti hanya tinggal di rumah petak, tapi justru karena itulah saya bisa menemukan bayang rekan hidup saya setiap saat, ke manapun saya menoleh. Atau boleh jadi mungkin kami tinggal di rumah megah nan luas yang bisa turut menampung ratusan tuna wisma di dalamnya.
Ketika bisa jadi kami memiliki mobil pribadi dan bisa mengantarkan sanak saudara ke manapun mereka ingin pergi. Atau boleh jadi kami harus berjalan kaki, namun itu adalah kesempatan baik untuk menyusuri jalan sambil menikmati senja, atau mendengarkan celoteh burung di pagi hari.
Ketika bisa jadi kami mampu menghidangkan ribuan porsi makanan lezat untuk dinikmati bersama fakir miskin. Atau boleh jadi kami hanya mampu membeli seporsi nasi, untuk dimakan berdua sambil saling suap mesra.
Ketika bisa jadi rekan saya nanti diamanahi pekerjaan yang menyita waktunya untuk kepentingan orang banyak, dan saya memiliki waktu lebih banyak untuk menyiapkan dengan maksimal kebutuhannya beristirahat dengan optimal di rumah. Atau boleh jadi ia hanya bekerja seadanya, dan kami memiliki lebih banyak waktu untuk dilalui bersama.
Dan masih banyak lagi. Namun intinya, dengan barakah, saya tidak menemukan di mana celah ada kehidupan yang bisa diartikan susah.
Dan ketika saya membayangkan sebuah kehidupan tanpa barakah di dalamnya, di sanalah saya menemukan arti ‘hidup susah’ yang sebenarnya.
Saya akan merasa hidup susah ketika kesempitan rumah masih ditambah dengan kesempitan hati dan keleluasaan lisan untuk terus mengeluh. Atau kelapangan rumah yang justru membuat jarak hati penghuninya juga semakin jauh.
Saya merasa susah ketika memiliki mobil pribadi yang bagus dan mewah justru membuat hati tidak karuan karena takut tergores dan kehilangan. Atau tidak memiliki kendaraan menjadi pembenaran atau alasan untuk berhenti dari melakukan sebuah kebaikan.
Saya merasa susah ketika kesanggupan menghadirkan makanan berbanding lurus dengan kemubadziran yang kami hasilkan. Atau ketika hanya memiliki sedikit makanan membuat kami lupa dengan pemberian Allah yang masih banyak dalam bentuk lainnya.
Saya merasa susah ketika jam kerja yang panjang justru membuat hati saya khawatir dan curiga tentang apa yang sebenarnya rekan saya lakukan. Atau ketika ia lama berada di rumah, justru membuat pertikaian yang terjadi di antara kami semakin banyak.
Masih banyak lagi. Namun intinya, saya merasa susah, ketika Allah tak lagi menghadirkan barakah dalam kehidupan kami.
Sepanjang Allah menganugerahkan barakah dalam hidup kita, atau setidaknya kita selalu berusaha untuk menghadirkannya, sepanjang itu pula saya berjanji untuk tidak akan merasa susah.
Namun ketika Allah mencabut barakah itu dari hidup kita, dan tidak ada lagi upaya dari kita untuk memintanya kembali, saya akan merasa susah.
Dan maaf, saya tidak mau diajak hidup susah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Total Pageviews

Translate